Jangan Jadi Penipu
Kamu punya dua pilihan.
Opsi pertama: Jalan terus sesuai bakat dan kerja kerasmu. Nggak neko-neko, main jujur, percaya bahwa konsistensi bakal bawa hasil.
Opsi kedua: Main lebih licin. Nggak jahat, tapi mulai ngerti cara kerja persepsi, mulai sadar kalau keberhasilan sering kali soal bagaimana kamu terlihat, bukan hanya siapa kamu sebenarnya.
Dan kalau kamu milih opsi kedua, kamu harus jalan hati-hati.
Karena antara “percaya diri” dan “penipuan” — jaraknya tipis kayak outline logo di pitch deck startup.
Fake Confidence, Real Impact
Tahun 2012, Amy Cuddy berdiri di panggung TED dan bilang:
“Body language shapes who you are.”
Power posing — berdiri dengan postur percaya diri meskipun aslinya grogi — katanya bisa bikin kamu beneran lebih percaya diri dan bahkan lebih sukses.
Dunia langsung heboh. Videonya ditonton puluhan juta kali. Dan kita semua mulai berdiri kayak Wonder Woman sebelum interview.
Tapi apa cuma itu kekuatan dari “fake it till you make it”?
Di Dunia Nyata, Yang “Fake” Itu Nggak Sekedar Gaya Tubuh
Tahun 1964, ada seorang laki-laki — drop out tiga kali — ngelamar jadi agen di agensi hiburan. Syaratnya? Harus lulusan universitas.
Dia ngaku lulusan UCLA. Padahal enggak. Tapi dia kerja dulu di ruang surat, dan menyabot surat konfirmasi dari UCLA. Ganti pakai surat bikinannya sendiri.
Dapat kerja. Naik jabatan. Donasi besar ke kampusnya (yang dulu dia palsuin). Sekarang? Dia miliarder.
Siapa dia? David Geffen, founder DreamWorks!
Fake at the start. Real at the end.
Kalau Nggak Bisa Palsuin Skill, Palsuin Imajinasi Orang
Steve Jobs dikenal suka demo produk yang belum jadi. Thomas Edison juga.
Tapi mereka bukan penipu. Mereka tahu barangnya belum jadi, tapi tahu mereka bisa menyelesaikannya.
Yang mereka “palsukan” adalah timing dan persepsi.
Dan ini bukan cuma mereka.
- Influencer beli followers buat dapet sponsor.
- Startup bikin akun palsu biar kelihatan ramai.
- YouTuber bilang “kami” padahal timnya ya dia sendiri.
Semua orang berlomba bikin kesan pertama yang meyakinkan, sebelum kualitas beneran datang belakangan.
Dunia Marketing: 80% Ilusi, 20% Produk
- Rapper ngaku punya Ferrari (padahal sewa).
- Aktor pakai jam tangan palsu (karena fans nggak tahu bedanya).
- Penyanyi pendatang baru bundling tiket konser + album biar streamingnya kelihatan banyak.
Akon? Ngaku mantan pencuri mobil — padahal nggak.
Rick Ross? Pake nama bandar narkoba beneran — tapi dia mantan sipir.
Dan kita? Kita nonton sambil bilang, “gila, keren juga ya.”
Beda Tipis: Fake vs Fraud
Tapi hati-hati.
Faking it = boleh
Fraud = penjara
Elizabeth Holmes? Nggak cuma fake it, tapi bohongin investor, manipulasi data medis, sampai bikin pasien salah diagnosa. Hasilnya? 11 tahun penjara.
Charlie Javice? Jual startup ke JP Morgan dengan database user palsu. Hasilnya? Potensi 100 tahun penjara.
Jadi... Boleh Nggak Kita “Fake It”?
Boleh, selama kamu tahu kapan harus berhenti. Selama kamu masih bisa bertanggung jawab. Selama kamu fake ke arah yang ingin kamu jadiin nyata.
Kamu boleh pura-pura PD dulu, boleh bilang "kami" walau cuma kerja sendiri, boleh pasang foto kantor yang terang padahal remote dari kosan.
Asal kamu tahu:
Semua ilusi punya masa kadaluwarsa.
Dan kalau kamu main terlalu jauh, kamu bisa pindah dari pitch deck ke sidang pengadilan.
Akhir Kata
Di dunia di mana semua orang jualan image, kadang kamu harus ikut main — atau tenggelam.
Tapi ingat, “fake it” bukan berarti “lie forever”. Itu cuma fase sebelum kamu bisa beneran jadi seperti yang kamu tampilkan.
Dan siapa tahu... Kamu nggak butuh pura-pura terlalu lama, karena versi terbaik dari dirimu — sudah ada, cuma belum sempat ditunjukin aja.