idearik.

Kenapa Saya Tidak Suka "Karya Anak Bangsa"

Pernah nggak sih kamu ngerasa capek lihat slogan kayak "Karya Anak Bangsa", "Pakai Produk Lokal", dan "Local Pride"?

Kalau saya, jujur aja... iya.

Bukannya makin nasionalis, malah suka mikir: "Emang cuma itu doang yang bisa dibanggain dari produk ini?"


Gimmick dalam Pemasaran Produk Lokal

Slogan kayak "Karya Anak Bangsa" dan "Produk Lokal" sering banget cuma dipake buat gimmick marketing.

Gimmick: Slogan catchy buat narik perhatian, tapi nggak ada jaminan kualitas.

Padahal, yang harusnya dikasih ke konsumen itu informasi soal kualitas produknya. Bukan cuma embel-embel "buatan Indonesia".

Dan percaya nggak percaya, gimmick kayak gini tuh malah bahaya buat produk lokal itu sendiri. Kurang lebih alurnya gini:

  1. Konsumen beli bukan karena kualitas, tapi karena "cinta produk lokal".
  2. Produsen ngerasa produknya aman-aman aja, males riset atau upgrade kualitas.
  3. Begitu ada produk pesaing (apalagi dari luar), langsung kalah saing.
  4. Solusinya? Ya balik lagi jualan gimmick "local pride", padahal kualitas nggak naik-naik.

Produk Lokal Berkualitas Nggak Perlu Gimmick

Produk lokal Indonesia tuh nggak jelek. Banyak kok yang udah main di level global.

Apakah mereka tiap hari teriak "Karya Anak Bangsa" di iklan? Enggak.

Mereka bersaing pake kualitas. Meskipun harganya lebih mahal dari produk impor, kalau kualitasnya setara atau lebih bagus, pasti ada aja pasarnya.

Contohnya:

Saya yakin, ada beberapa di antara kamu yang baru tahu kalau brand-brand ini ternyata lokal. Kenapa? Karena mereka fokus ngasih produk bagus, bukan ngandelin slogan doang.


Studi Kasus Film & Game: Gimmick vs. Kualitas

Yuk bahas lewat contoh. Mulai dari film dulu:

🎬 Gundala (Jagat Sinema Bumilangit) vs. The Raid

film-gundala

Jagat Sinema Bumilangit (JSB) pengen banget bikin semesta superhero ala Marvel Cinematic Universe. Niatnya keren, eksekusinya... ya gitu deh.

Tahun 2019 mereka rilis Gundala, dapet 1,3 juta penonton dan beberapa penghargaan. Awal yang bagus.

Tapi ada masalah besar: penonton film lokal beda sama penonton film superhero.

Pecinta film lokal suka drama, horor, komedi. Pecinta superhero? Kalau nonton filmnya malah cringe, ya kabur.

Alih-alih fokus perbaikan setelah Gundala dan Sri Asih, mereka malah rilis Virgo & The Sparklings. Padahal karakter lain kayak Godam, Tira, Si Buta dari Gua Hantu tuh potensial banget.

Ada yang bilang kegagalan JSB karena orang Indonesia nggak suka superhero lokal.

Salah! Lihat aja Gundala sama Sri Asih, penontonnya masih lumayan. Orang cuma nggak suka film jelek yang dipaksa rilis. Apalagi yang cuma jualan lokalitas tanpa kualitas.

Sekarang bandingin sama The Raid.

Film ini lahir setelah suksesnya Merantau (2009). Dapet sambutan hangat di festival, baru lanjut bikin The Raid yang lebih gede skalanya.

Iya sih, sutradaranya orang Wales. Tapi mayoritas kru dan pemainnya? Tetap orang Indonesia.

Dan yang dijual? Aksi brutal + pencak silat. Bukan slogan "Karya Anak Bangsa".


🎮 Game Lokal: Fokus Kualitas, Bukan Gimmick

Ada banyak game buatan Indonesia yang sukses tanpa gimmick nasionalis, contohnya:

coral island

Game-game ini sukses lokal-global karena... ya bagus. Udah gitu aja. Player nggak peduli itu buatan mana kalau memang asik dimainkan.

Sekarang lihat Lokapala.

Digadang-gadang sebagai "MOBA pertama Indonesia", tapi malah jatuh di dua hal:

MOBA itu genre berat. Kompetitornya udah kelas berat: Mobile Legends, Honor of Kings, LoL: Wild Rift. Budget gila-gilaan, ekosistem kuat.

Lokapala? Terlalu lokal, terlalu sempit target pasarnya. Revenue kecil, growth-nya seret.

Bandingin sama tiga game sebelumnya yang langsung main di liga global.


Jadi, Dukung Produk Lokal yang Emang Layak

Kita tetep harus dukung produk lokal.

Tapi... jangan karena slogan "Produk Lokal" atau "Karya Anak Bangsa" aja.

Dukung karena kualitasnya emang pantas didukung.

#jurnal