Overdosis Pengembangan Diri

Self-Help / Self-Improvement atau Pengembangan Diri jadi salah satu genre buku yang belakangan ini jumlah peminatnya sangat tinggi. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi hampir di seluruh dunia.

Self-Help Industry” di Amerika Serikat saja diprediksi akan bernilai USD 13 triliyun di tahun 2022.

Hari ini, industri ini tidak hanya hadir dalam bentuk buku, tapi juga blog, seminar, workshop, podcast bahkan aplikasi.

Industri ini bisa dikatakan dimulai dari sebuah buku berjudul Self-Help karya Samuel Smiles yang dipublikasikan tahun 1859. Tahun yang sama dengan Charles Darwin mempublikasikan The Origin of Species.

Kemudian di tahun 1920, Emile Coué menulis buku berjudul Self Mastery Through Conscious Autosuggestion yang mulai mencampuradukan antara self-help dengan sains.

Tahun 1980 sampai 1990-an, self-help mulai masuk ke ranah TV dengan nama-nama seperti Tony Robbins dan Oprah yang mendominasi. Sambil menjadi pembawa acara, mereka juga memasarkan buku, video dan seminar pribadinya.

Kenapa Self-Help Industry Meroket?

Self-help sebenarnya sudah meroket sejak lama, saat The Great Depression melanda tahun 1930an, salah satu buku paling laris adalah Think and Grow Rich karya Napoleon Hill yang bahkan masih laris sampai hari ini.

Tapi, salah satu alasan kenapa self-help industry belakangan terasa makin ramai adalah karena perubahan perilaku dan ekspektasi dari generasi saat ini.

Berdasarkan survei pada 2015, di Amerika Serikat saja, lebih dari 90% millenialnya mengatakan bahwa mereka berkomitmen untuk melakukan self-improvement di tahun tersebut.

Dengan total generasi millenial di dunia yang mencapai 23% dari total populasi umat manusia, tidak heran jika pasarnya sangat besar.

Millenial juga diketahui memiliki ekspektasi paling tinggi untuk sebuah tempat kerja dan pekerjaan, sederhananya ; ingin pekerjaan yang menyenangkan + gaji besar, akibatnya buku seperti The 4-Hours Work Weeks karya Tim Ferris jadi sangat laris saat ini.

Ekspektasi tinggi ini juga membuat banyak millenial yang mengalami Quarter Life Crisis (QLS) dan merupakan ‘sasaran empuk’ bagi buku-buku self-improvement.

Skeptisisme Terhadap Self-Help

Self-help industry sudah mengajak kita melakukan “pengembangan diri” selama puluhan tahun, seharusnya kita saat ini sudah menjadi spesies super atau mendapatkan pencerahan setara sang Buddha. Tapi, kenyataannya tidak kan?

Tidak heran jika muncul orang-orang yang sangat skeptis dengan self-help, bisa disebut sebagai Anti-Self-Help Self-Help, sebuah self-help bagi orang yang tidak suka self-help.

Gerakan ini mengajak mereka yang skeptis untuk fokus pada alternatif lain yaitu: Self-Acceptance, atau menerima apa adanya. Mengakui bahwa orang-orang seperti Einstein, Elon Musk dan Bill Gates hanyalah 20% dari umat manusia, sebagian besar dari kita hanya akan mejadi ‘orang biasa’.

Salah satu buku paling laris dalam genre ini adalah The Subtle art of Not Giving A Fuck karya Mark Mason.

Tapi, gerakan ini lebih mirip seperti meminum arak Bali dan berharap agar tidak mabuk.

Masalah dari Self-Help

Menurut Mark Mason, ada setidaknya lima masalah dengan self-help industry saat ini. Kalau mau baca artikel aslinya dalam bahasa Inggris, bisa baca 5 Problems with the Self-Help Industry di blognya Mark Mason langsung.

Tapi, saya coba ringkas dibawah ini.

Menguatkan Rasa Rendah Diri

Self-help selalu menarik bagi dua jenis orang:

  1. Mereka yang selalu merasa ada yang salah dengan dirinya dan siap melakukan apapun untuk jadi lebih baik. Sebut saja mereka golongan “Bad-to-OK“.
  2. Mereka yang merasa baik-baik saja, tapi memiliki beberapa permasalahan dan ingin jadi lebih baik. Sebut mereka golongan “OK-to-Great“.

Setelah mengonsumsi self-help dalam bentuk buku, podcast, video atau seminar, golongan OK-to-Great umumnya akan tetap berada di level kehidupan yang sama. Sementara, golongan Bad-to-OK umumnya akan mengalami sedikit peningkatan.

Tapi, lebih seringnya golongan Bad-to-OK ini justru akan jadi lebih buruk dari situasi sebelumnya. Kenapa? Karena setelah melakukan ‘self-help’ mereka justru merasa semakin kurang.

Contohnya…

Saat orang-orang OK-to-Great membaca buku soal kebahagiaan, mereka akan berkata dalam hati, “Oh, ada beberapa hal disini yang tidak aku lakukan sebelumnya. Coba ah.

Sementara mereka yang Bad-to-OK akan membaca buku yang sama dan berkata, “Wow, lihat semua hal yang belum pernah aku lakukan. Aku memang ternyata lebih culun dibandingkan yang aku pikirkan.

Mengajak Menghindari Kenyataan

Tidak tau bagaimana harus memulai untuk berkenalan dengan wanita, atau selalu merasa capek dan ingin rebahan sepanjang hari atau tidak bisa berhenti untuk gofood boba.

Semua terasa sebagai sebuah ‘masalah’, padahal dasarnya hanyalah perasaan gundah atau tidak pantas ada jauh di lubuk hati.

Self-help sering menawarkan ‘solusi’ yang tidak berhasil menyelesaikan masalah utama, dan justru menambah masalah baru.

Contoh lagi…

Ada seseorang yang suka mabuk-mabukan dan tidak punya pekerjaan. Lalu, dia berniat berubah dengan membaca buku self-help. Kemudian, dia pun berubah menjadi seseorang yang melakukan meditasi selama 5 jam sehari tapi tetap tidak punya pekerjaan.

Atau, seseorang yang sangat canggung untuk berkenalan dengan lawan jenis. Dia kemudian membaca buku tentang cara berkenalan dan merasa bahwa dia sudah melakukan ‘sesuatu’. Membaca buku jadi terasa lebih penting dibandingkan benar-benar pergi keluar dan berkenalan langsung dengan lawan jenis.

Ekspektasi yang Tidak Realistis

Marketing yang dilakukan oleh buku, podcast atau seminar self-help kerap menghadirkan ekspektasi yang tidak realistis.

Seseorang tidak akan bisa menjadi lebih baik dalam satu minggu saja. Pokoknya tidak. Yang sering terjadi adalah dia akan merasa ‘lebih baik’ selama akhir pekan, tapi kemudian perasaan gundahnya / kebiasaan buruknya akan kembali lagi.

(Seringnya) Tidak Berdasar Sains

Psikologi klinis saja sampai hari ini masih terus berkembang agar bisa diterima. Tapi, berdasarkan banyak penelitian, ada beberapa hal yang benar-benar punya manfaat misalnya:

  • Melakukan meditasi
  • Menulis jurnal
  • Bersyukur tiap hari
  • Bersedekah dan memberi

Tapi, self-help lebih sering hanya memberikan placebo atau bahkan hanya omong kosong.

Self-Help adalah Sebuah Kontradiksi

Pertentangan (kontradiksi) utama dari self-help adalah

Tahap pertama untuk menjadi lebih baik adalah mengakui bahwa kamu sedang baik-baik saja dan tidak perlu bantuan orang lain

Ketika ingin menerima diri sendiri dengan apa adanya, sama artinya bahwa kita tidak memerlukan bantuan maupun saran dari orang lain. Saat sudah ada di titik penerimaan diri inilah, maka saran-saran dari orang lain baru akan berguna.

Saran dan kata-kata mutiara yang ada di buku self-help sebenarnya paling bermanfaat bagi mereka yang sama sekali tidak memerlukannya. Mereka yang masuk dalam golongan Ok-to-Great.

Self-help / self-improvement artinya meningkatkan siapa dirimu yang sebenarnya, bukan menggantikan karaktermu dengan karakter lain yang kamu anggap lebih baik.

Apa Inti dari Self-Help yang Sebenarnya?

Jawaban dari pertanyaan ini harus kamu cari tau sendiri. Kenapa kamu harus percaya dengan orang lain untuk menjawab sesuatu tentang hidupmu yang seharusnya hanya kamu mengetahuinya.

🎧 Konten Audio Tambahan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *