Trauma Bonding, Alasan Kenapa Kamu Mencintai yang Menyakitimu

Tahun 1973, seorang residivis bernama Jan-Erik Olsson melakukan perampokan bersenjata di sebuah bank di Stockholm, Swedia.

Dia masuk ke bank sambil menembakkan senjata, menyandera tiga orang wanita dan seorang pria, mengikatkan dinamit ke tubuh mereka dan membawa ke brankas bank dibawah tanah.

Selama enam hari, dia menolak untuk menyerahkan diri dan melepaskan sandera. Dia bahkan meminta polisi mendatangkan mantan rekan satu selnya, Clark Olofsson ke lokasi.

Walau pada akhirnya berhasil digagalkan; Olsson ditangkap dan Olofsson kembali ke penjara. Tapi, cerita yang terjadi setelahnya membuat banyak orang tidak percaya.

Para sandera menunjukan sikap ramah dan peduli pada penyanderanya; menolak menjadi saksi yang memberatkan di pengadilan. Padahal menurut polisi, para sandera ini mendapat ancaman dan kekerasan selama disandera.

Salah seorang sandera wanita bahkan membatalkan pertunangannya agar bisa bersama dengan penyanderanya; sementara sandera yang lain mengadakan penggalangan dana untuk membayar biaya pengacara dan pengadilan.

Hubungan antara sandera dan penyandera ini kemudian dikenal sebagai “Stockholm Syndrome“, sebuah hubungan emosional yang pada kenyataannya adalah strategi bertahan hidup dari korban kekerasan fisik dan emosional.

Apakah Stockholm Syndrome bisa menjelaskan kenapa banyak orang bertahan bahkan masih mencintai seseorang yang menyakiti mereka?

Tidak!

Walau sindrom ini sangat mirip dengan yang terjadi dalam sebuah abusive relationship, tapi ada satu perbedaan mendasar: Stockholm Syndrome hanya bisa terjadi ketika korban tidak mengenal penyanderanya.

Dengan kata lain, untuk bisa memiliki Stockholm Syndrome, korban harus tidak pernah bertemu dengan penyanderanya sebelumnya.

Sementara, dalam sebuah hubungan yang abusive, haruslah terjadi suatu kontak lebih dahulu.


Jika bukan Stockholm Syndrome yang membuat seseorang bisa bertahan, lalu apa?

Sebenarnya ada banyak alasan tetap bertahan dalam sebuah hubungan yang abusive, seperti;

  1. Distorted Thoughts. Tidak menyadari kalau hubungan yang dijalani merupakan hubungan yang abusive dan selalu berharap bahwa suatu hari pasangan akan berubah.
  2. Damaged Self-Worth. Kehilangan rasa percaya diri untuk memulai kembali sehingga jadi enggan untuk keluar dari suatu hubungan.
  3. Wanting to be a Savior. Merasa bertanggungjawab atas perilaku dan tindakan dari pasangan.
  4. Family Expectations. Rasa khawatir bagaimana keluarga, teman dan kerabat akan bereaksi jika keluar dari hubungan.
  5. Faktor anak.
  6. Trauma Bonding.

Trauma Bonding jadi salah satu alasan kenapa banyak orang masih tetap bertahan dalam sebuah hubungan yang abusive. Memiliki dua karakteristik yang sangat khas:

Terjadi Secara Siklus

Semakin lama, trauma bonding akan semakin kuat karena terjadi secara siklus.

Kamu umumnya lebih mudah keluar dari sebuah hubungan yang buruk jika pasangan / orang lain tidak pernah menunjukan sifat baiknya. Jika kamu tidak percaya bahwa seseorang bisa berubah, maka kemungkinan kamu tidak akan bertahan.

Tapi, dalam abusive relationship, pasangan kerap masih memperlakukanmu secara baik; mengajak kencan, memberi hadiah dan sebagainya. Sering disebut sebagai ‘Honeymoon’ Phase.

Tindakan inilah yang kerap disalah artikan oleh banyak orang sebagai tanda bahwa pasangan sudah berubah menjadi lebih baik.

Siklusnya:

Abuse ➡️ Apologize ➡️ ‘Honeymoon’ Phase ➡️ Abuse

Dan ini terjadi secara terus menerus.

Power Imbalance

Karena adanya siklus tadi, pasangan jadi terasa lebih dominan dan mengkontrol hubungan hingga pada titik pihak satunya tidak tahu bagaimana cara keluar dari hubungannya tersebut.

Walaupun berhasil keluar, tapi untuk benar-benar memutuskan hubungan yang sudah terjalin biasanya perlu waktu sangat lama bahkan hingga bantuan profesional.

Akan ada masa dimana muncul rasa kosong dan ingin kembali, karena siklus abusive terasa lebih nyaman dan tidak tahu bagaimana harus hidup tanpa siklus tersebut.

Jika harus disingkatkan dalam poin, ciri dari seseorang yang sudah ‘terjebak’ dalam Trauma Bonding adalah:

  • Merasa tidak bahagia bahkan tidak suka lagi dengan pasangan, tapi tetap tidak bisa mengakhiri.
  • Saat mencoba untuk memutuskan hubungan, merasa tertekan secara fisik dan mental.
  • Setiap mencoba untuk putus, pasangan selalu berjanji untuk berubah tanpa usaha yang serius untuk berubah.
  • Selalu terpaku pada hari-hari “Bahagia”, dan menggunakannya sebagai bukti bahwa pasangan benar-benar peduli.
  • Membuat alasan dan membela perlakuan pasangan.
  • Terus menerus percaya bahwa pasangan akan berubah.
  • Melindungi pasangan dengan menyembunyikan sikap abusive mereka.

Kenapa Seseorang Bisa Terjebak Dalam Trauma Bonding?

Jawaban singkat: Karena goblok Karena trauma bonding adalah candu.

Sebuah ‘hukuman’ yang kemudian diikuti oleh kebaikan saat kamu mau ‘nurut’ membuat tubuh mengalami sebuah fase dimana hormon stress yang muncul selalu dibarengi dengan kehadiran dopamin (hormon bahagia) dari sikap baik dan hadiah yang diberikan pasangan.

Saat tubuh mengalami ini secara terus-menerus, maka tubuh akan jadi kecanduan dengan siklus ini.

Dopamin yang muncul tidak lama setelah mengalami kekerasan justru membuat kamu makin dekat dengan yang menyakitimu dan mengaburkan sakit fisik atau mental yang dialami sebelumnya.


Akhir Kata

Bagaimana pun, hubungan yang abusive tidak pernah bisa dibenarkan. Entah itu abusive dalam kata-kata yang menyakitkan hati atau hingga melakukan kekerasan fisik, keduanya tidak bisa dibenarkan dalam sebuah hubungan.

Percayalah, kamu menjadi target kekerasan bukan karena lemah, tapi karena kamu memiliki banyak hal untuk diberi.

Selalu ingat kata Hindia dan Petra Sihombing dalam lagu Dehidrasi.

Hati-hati dalam memilih racunmu. Hati-hati dengan hati yang berduri. Dehidrasi, mata air yang semu. Dehidrasi, memaksa tanpa mengerti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *