The Rise of the Star Queen merupakan serangkaian lore yang saling terhubung antara ‘Paragon’ Catherine, ‘Stormlord’ Ardan, ‘Cloud Rider’ Vox dan ‘Star Queen’ Celeste. Lore ini menceritakan “bagaimana-jika” hero-hero tersebut memilih jalan yang berbeda.
The Star Queen’s Navy
‘Cloud Rider’ Vox Tier 1
Bagaimana jika Vox tidak ikut bergabung dengan pasukan pemberontak Gythia, tetapi dia menjadi kapten dari pesawat Audacity?
Seorang peri bernama Loo menculik Vox saat yang lain tertidur. Celeste, satu-satunya yang terpisah karena perempuan; Vox berada satu tempat dengan rakyat Gythia dan ayahnya yang mendengkur. Peri itu panik karena kapten dari kapten dari Audacity menghilang. Dia melewati jendela dan berteriak ketelinga Vox, yang mana setengah ukurannya. “Kapten, Kapten! Ada pertempuran!”
Vox kaget dan terbangun dari tidurnya. Lalu peri itu menjepit bibirnya agak tidak membuat semua orang terbangun dan menaburkan bubuk peri padanya untuk membuatnya melayang dan mengikutinya.
Vox kemudian menjadi kapten Audacity, karena kapten yang asli tidak pernah kembali.
Dia memenangkan pertarungan antar kapten langit. Dua pesawat armada musuh menjadi miliknya, dan kru mereka menyatakan bergabung dengannya. Dia memasang pengeras suara di dek untuk digunakan mengalahkan musuh-musuhnya dan mengadakan pesta.
Hidupnya begitu menyenangkan sampai dia lupa merindukan keluarganya, tapi suatu malam dia menceritakan kisah dari Celeste kepada Loo dan petualangan pentingnya, yang membuatnya sedih.
Pagi berikutnya, Audacity melayang di atas Halcyon Fold bersama setidaknya seratus pesawat lainnya. Semua mengibarkan bendera Celeste. “Aku membawakanmu armada!” dia berkata. Dan pemberontakan dimulai
The Glass Chamber
‘Stormlord’ Ardan Tier 1
Seperti pepatah bilang, “Musuh dari musuhku adalah kawanku.” Bagaimana jika Ardan bergabung dengan musuhnya untuk mengejar Catherine?
Note : Lore ini menceritakan bagaimana jika Ardan mengambil jalan hidup berbeda dengan ingin membalaskan dendam kematian istrinya.
Para penjaga berseragam putih binasa tanpa bisa melawan Ardan yang memasuki ruangan ratu.
“Aku senang kau datang.”
Storm Queen berdiri di ujung ruangan berwarna putih, dengan gagak bertengger di pundaknya. Ruangan itu, tidak seperti tempat lainnya, sangat dingin; Ardan maju dengan hati-hati dengan kedinginan. “Karena kau ingin mati?”
“Aku ingin yang kau inginkan.” Storm Queen melangkah kesamping dengan jubah gelapnya, memperlihatkan bekas luka di matanya, mengungkap tabung kaca dimana jasad Julia terbaring. “Balas dendam.”
Ardan berlari dan memandang tabung kaca dimana istrinya dengan wajah yang membeku.
“Aku tidak memberikan perintah. Catherine bertindak dengan kemauannya sendiri,” ratu berbisik. “Bergabunglah denganku. Hukum pembelot yang membunuh adikku.”
Mercy is Granted
‘Paragon’ Catherine Tier 1
Semuanya berlutut di hadapan ratu, setiap orang mengenakan subarmalis putih murni, dan mengucap sumpah setia. Sang ratu menamai ksatria yang baru selagi dia menepuk bagian yang datar dari pedang perayaan pada setiap bahu sang ksatria, baju zirah emas dan senjata dengan tanda milik ratu dipersembahkan kepada sang ksatria, kerumunan orang bersorak dan perayaan tersebut diulang.
Ketika ksatria terakhir tenggelam dalam tepukan tangan, pengawalnya mengikuti dari belakang dengan tangan penuh dengan plat baja berat, pintu terbuka. Sinar matahari menyinari sehingga sosok yang mengenakan jubah dan penutup kepala di depan pintu berdiri dalam bayangan. Ruangan menjadi tenang ketika sosok tersebut berjalan menuju altar, melewati para ksatria dann pengawalnya, serta para tamu dengan perhisannya, kea rah mimbar dimana sang ratu berdiri dengan gaun dan selendang hitam, pedang di tangan, serta Vyn bertengger di bahunya.
Sosok berkerudung terjatuh di lantai, dengan telapak tangan menghadap ke bawah, serta kepala menunduk seolah-olah berada dalam sebuah eksekusi.
“Aku bersumpah setia terhadap ratu, “sumpah sosok yang bertobat tersebut. “Aku bersumpah untuk menghormati dan membela ratuku melawan semua musuh. Aku akan menerangi hatiku cintaku untuk ratuku. Aku akan mendedikasikan hidupku untuk kemuliaan yang lebih besar dari mahkotanya .”
Bisikan mulai bergema di antara kerumunan, para ksatria baru memegang senjata mereka, mengawasi satu sama lain. Akan tetapi sang ratu tidak bergerak dan tidak pula berkata apa-apa. Hanya Vyn yang memutar kepalanya untuk melihat sosok yang berada di lantai.
Suara dari sosok berkerudung pecah. “Aku mohon pengampunan dari ratu.”
Semua orang menahan nafasnya dan diikuti dengan keheningan. Akan tetapi kemudian, dari jendela serta lampu langit-langit di atas, dari pintu yang terbuka, dari belakang mimbar, burung gagak terbang ke dalam ruangan. Satu, lalu satunya lagi, lalu semakin banyak, bertengger di sosok yang berada tanah, menggali jubah dengan cakar mereka, lalu kemudian mengepakkan sayap mereka dan mengangkatnya, menunjukkan Catherine yang berlutut mengenakan subarmalis putih.
scabbards. The subordinate traitor!
Sentakan rasa marah terdengar dari kerumunan orang. Dasar tidak sopan! Pedang dan belati menyanyi, lepaskan dari sarung pedang. Para pengikut penghianat!
Akan tetapi sang ratu membungkam mereka dengan lampaian tangannya. Dia menunduk, meletakkan dagu Catherine di telapak tangannya. “ Kau melanggar hukum, “katanya.
Catherine menundukkan matanya, tidak mampu menatap tatapan Vyn. “Ratuku, kau adalah hukum.”
Sang ratu mengangkat kerudungnya, dan menunjukkan bekas luka serta senyumnya yang licik. “Ya aku adalah hukum,” katanya, lalu kemudian menampar pipi kanan Catherine dengan bahu tangannya. “Permohonan maaf dikabulkan, katanya, dan mencium pipi kiri Catherine walaupun pipi kanannya menjadi merah bengkak. “Bangunlah, Lady Catherine, dan terimalah pelindung serta baju zirah ksatriamu.”
Terjadi kekacauan di kerumunan ketika pengawal mendekat dengan pelindung emas dengan tanda milik ratu badai. Catherine menatap para tamu dengan pandangan khasnya yang tidak bersemangat, dan tangan ratu dekat dengan pundaknya, mulutnya dekat dengan telinganya. “Aku memaafkanmu, “bisiknya, akan tetapi kau tidak akan dapat meninggalkan aku lagi.”
The Key
‘Stormlord’ Ardan Tier 2
Para Stormlords menjaga kantor dan memimpin pengadilan; mereka membuat hukum dan cekcok satu sama lain dengan perintah kecil Storm Queen, dan mereka sudah terlihat sejak awal kalau tidak pernah setuju atau tidak loyal. Hanya satu Stormlord yang berbeda dengan lainnya. Tidak mengenakan jubah mewah dan perhiasan yang menunjukkan bahwa dia Stormlords, Ardan justru mengenakan baju pelindung berkekuatan. Dia menolak tawaran apartemen di istana dan tetap memilih bersiaga di luar ruangan ratu. Karena pengabdiannya dia diberikan sihir untuk membuatnya tetap terjaga, dan memberikan kunci keruangannya yang dia kalungkan di lehernya. Setelah itu, dia kenal sebagai Sang Kunci.
Dia dulunya orang biasa, beberapa berbisik, bahkan dia seorang ayah. Sihir mengganggu pikirannya, orang-orang bilang. Ada kabar bahwa baterai yang terhubung di pelindung dadanya yang membuat dia terus hidup. Dia tidak berbicara dengan orang dan tidak peduli apapun, tapi mereka berkata bahwa dia dulunya memiliki kemanusiaan. Memiliki cinta. Tampan, Perisai Queen pernah berkata, dia memukul pipinya. Dia jatuh ketanah dan harus ditenangkan. Mulutnya berwarna abu-abu terbuka berusaha untuk berteriak, tapi tidak mampu dan hanya terbatuk. Malam itu dia dipasangkan sebuah helm untuk membuatnya tetap bernapas karena paru-parunya yang mulai membusuk, jadi jika dia membenci ratu karena memaafkan wanita yang telah membunuh istrinya, ekspresinya tidak memberikan apapun. Sejak saat itu, Perisai Queen memberikannya tempat tinggal yang luas.
Dengan cinta yang tetap dia miliki, beberapa kali ratu mengijinkannya untuk bertemu Julia, yang beku di dalam tabung kaca. Itu adalah Julia, bukan ratu, yang sebenarnya dia terus jaga tanpa istirahat.
The Pacification of Lionne
‘Paragon’ Catherine Tier 2
Aku selalu mencintai Lionne. Menghabiskan musim dingin semasa kecil disini. Kakakku dan aku biasanya meluncur dari bukit itu ketika bersalju.
Catherine memimpin ratu badai melewati taman utama menuju pusat kota, baju zirah merahnya merefleksikan darah merah di atas balkon berbatu. Ittu merupakan kora yang indah — atau pernah menjadi, sebelum terjadinya pemberontakan . Sebuah toko keluarga yang kecil berdiri gelap dan kosong di tengah hari. Pecahan gelas berserakan di jalan. Asap dari rumah yang terbakar membuat berdebu setiap permukaan. Burung gagak melingkar dan mendengar atau memetik setiap serpihan tubuh yang berada di mana-mana. Langit yang cerah dilengkapi oleh keajaiban. Di antara jarak, adakah yang tersulut bukanlah yang melatih
“Aku melihat kecantikan taman tersebut telah diperbaiki, ketika telah ditenangkan, “kata sang ratu”.
“Ditenangkan?”
Sang ratu melihat kearah suara Catherine. “Apakah kau akan menggunakan dunia yang berbeda?
Catherine memegang pelindungnya dengan lebih kuat. “Hancurkan,” katanya. “Bakar, urutkan, hilangkan.”
Pasifikasi adalah dunia yang lebih indah. Penguasa yang baru akan menyebutnya seperti itu.”
Dan penguasa yang lama akan digantikan. Kapal-kapal Lionne akan menjadi kapal royal, perdagangannya akan menjadi perdagangan royal. Dengan pajak yang besar tentunya.”
“Dan mengapa tidak?” renung sang ratu. Jeritan dari pusat kota, sisa-sisa pemberontakan menjadi lebih keras suaranya ketika mereka mendekat. Sang ratu senang berada disana tepat pada akhir dari revolusi. “Ketika para tentara menyerah, akan ada kedamainan disini selama aku hiduo. Pajak yang pantas.”
Sampailah mereka penghujung pusat kota. Catherine pindah ke depan ratu, yang wajah takutnya tidak menunjukkan kekhawatiran apapun. Orang-orang kota mengelilingi mereka. Para pemanah jitu ratu menyembunyikan apapun di dalam pakaian seragam tentara Lionne mulai dari gedung tinggi, kebanyakan para pemberontak pergi mampu menggetarkan cengkraman masyarakat dengan bersenjatakan alat pertanian, dan pedang ber karat. Hanya hinaan mereka yang telah sampai pada ujungnya, sehingga teriakan tersebut mengikuit sang ratu dan kesatrianya selama mereka berjalan, serenade seolah-olah sedang berjalan pagi menuju pusat kota.
“Orang-orang Lionne!” seru Catherine. “Letakkan senjata dan tenanglah. Hidup Ratu Badai!”
Teriakan menjadi semakin besar. Sebuah tomat dilempar kea rah pertahanan Catherine. Sang ratu mendesah ketika kerumunan mendekat, menunjukkan kepada mereka garpu rumput dan gunting dapur. “Akhir nafas seorang pria adalah tidak lain dari keinginan kuatnya.”
Catherine menarik nafas, matanya tertutup, dan memanggil petir. Terasa seolah-olah mendorong melalui tungkainya, menekan ujung-ujung jemarinya, meredam pelindungnya hingga mengguncang. Lalu kemudian membuka matanya dan membanting pelindungnya ke tanah.
Getarannya terasa di jalan: cobbles hancur dan menggelinding kea rah kaki para pemberontak yang terjatuh, terpaku, dan mata mereka yang ketakutan melihat kea rah paragon yang merupakan penjaga pribadinya. Teriakan tersebut kemudian terdiam, membeku di antara tenggorrokan kemrumunan.
Dalam keheningan diikuti dengan ledakan yang besar, kraa, kraa, kraa dari gagak menggema diantara reruntuhan.
“Panjang umur Ratu Badai,” Catherine mengatakannya lagi, kali ini tanpa menaikkan nada suaranya.
Sebuah suara perempuan di tengah keramainan ini. Dia berdiri, gemetar, dan tenang untuk menyatakan tidak setuju dan kematian, sehingga bahkan para petani yang bangga bernyanyi bersama. “Panjang umur ratu Badai.”
Semakin banyak diikuti, dipimpin oleh ibu-ibu yang memilih membayar pajak dan ketenangan untuk menghadapi kematian. Hingga para petani yang bangga itupun ikut bernyanyi.
“Panjang umur Ratu Badai!”
Sang ratu menundukkan kepalanya pada sebuah acara politik yang memalukan, akan tetapi senyumnya sangat kering. Para pemanah jitu menjemput tentara Lionne yang terakhir.
Ketika sang rau tertidur, ksatria yang pertama mengartikan sebuah kode / pesan dari Gynthia oleh Candlelight. “Para penerus mengumpulkan sekutu. Pemberontak datang ke Mont Lillie.” Catherine membakar surat tersebut, matanya tak dapat dibaca. Sebuah revolusi adalah untuk dihancurkan atau didukung.
No More Fear
‘Star Queen’ Celeste Tier 1
“Katakan padaku kita tidak melewatkan pesta ini untuk hal yang lebih penting,” kata Vox, sambil mengetuk-ngetukkan kakinya.
Celeste bersandar pada tiang Audacity, melihat kearah prajurit Storm Queen yang berada di belakang gerbang Mont Lille melalui sebuah teleskop. Pesawat Celeste membentuk formasi di sekitar mereka.
Seorang dengan armor mengkilat, pedang yang tajam membuat setengah lingkaran di belakang Celeste. “Inilah saatnya, yang mulia. Kau harus memberikan perintah untuk menembak,” kata penyihir perang dengan logat dunia tua yang agung.
“Lihat barisan depannya,” dia berkata, memberikan teleskop kepada Vox.
Dia melihat dengan fokus. “Anak-anak,” dia berkata.
“Pasukan anak-anak Storm Queen.”
Mereka tidak dapat mengontrol nada suara mereka. “Kau sudah tahu kalau Storm Queen mengambil anak-anak pada usia belia untuk dilatih perang.”
“Aku tidak tahu kalau dia akan berbuat sejauh ini dengan menempatkan meraka di barisan paling depan.” kata Celeste.
“Storm Queen berpikir kalau kau tidak akan menyerang anak-anak.”
“Ini kacau,” kata Vox.
“Dia benar,” gumam Celeste.
“Kita sudah sejauh ini untuk kembali.” penyihir peragng memohon. “Ini sudah direncanakan sejak kau lahir. Jika kau tidak mengambil alih Mont Lille saat ratu pergi …”
“Akulah ratunya. Mont Lille adalah kotaku. Mereka adalah rakyatku. Apakah aku harus memulai kekuasaanku dengan membunuh prajuritku sendiri? dengan membunuh anak-anak?” Celeste lalu mengambil teleskop dan melihat melalui itu. “Vox? seberapa keras kau dapat membuat suaraku?”
Vox tertawa. “Kau ingin tahu jika aku bisa membuat kebisingan?” Dia membuat mikrophone dengan kepalan tangannya dan menempatkannya di depan mulut Celeste.
Celeste membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dia mendorong turun tangan Vox dan berbisik, “Apakah ratu yang baik tahu hal yang benar untuk dikatakan?”
Vox tersenyum dan menaruh tangannya kembali. “Ratu yang baik mengatakan yang sejujurnya.”
“Rakyatku yang tercinta!” dia menangis, dan suaranya terdengar di gerbang, pasukan di bawah pesawat, di atas kota dimana ibunya dilahirkan. “Kalian telah dilibatkan dalam generasi peperangan. Kalian telah mengorbankan kemerdekaan kalian. Kalian telah menyerahkan anak-anak kalian untuk mati dalam pertempuran. Aku menantang kalian untuk menghentikan penindasan ini. Aku datang ke Mont Lille bukan untuk menundukkan, tapi untuk mati dan hidup sebagai keturunan tahta yang sah, Star Queen. Kehormatan dan darahku berada pada daerah ini dan pada kalian semua. Aku di sini untuk bertarung, bukan melawan kalian, tapi di sisi kalian melawan ketakutan! Jangan takut!”
Dalam keheningan, Vox merangkul bahu Celeste dan mereka berdua melihat kebawah.
Kemudian, terdengar suara teriakan dari belakang gerbang. Suara remaja laki-laki.
“Jangan takut!”
“Jangan takut!” muncul suara lain, dan lainnya, semuanya suara prajurit anak-anak.
“Jangan takut!” Orang-orang dewasa suaranya juga terdengar, dan kemudian pasukan di bawah tanpa ada kesamaan namun kebencian terhadap Storm Queen. Tetua Gythia yang telah mempersiapkan pertempuran berdarah melihat satu sama lain, tercengang.
“Perempuan ini akan mengambil alih ibu kota tanpa pertumpahan darah,” kata penyihir perang, tapi pesawat dengan baling-baling dengan cepat agar tidak ada yang mendengarnya. Vox mengemudikan Audacity di atas gerbang dan mendarat di tengah kota, dan kerumunan orang mengelilingi pesawat untuk menyambut Star Queen.
The Mirrored Court
‘Star Queen’ Celeste Tier 2
Perjalanan pesta kerajaan berlangsung di jalan Mont Lille, obor menerangi perjalanan mereka. Perjalanan itu berlangsung pelan; rakyat mengerumuni ratu baru mereka, mencoba untuk menyentuh gaun dan rambutnya, nyanyian untuk tidak lagi ada ketakutan! dan Liberte, egalite! Di puncak Mont Lille, melewati gua dan air terjun dan pepohonan, mereka memanjat tangga marmer untuk menemukan gerbang berhiaskan permata dari istana Storm Queen yang terbuka lebar. Di sana, Celeste memerintahkan rakyatnya untuk kembali kerumah mereka dan tetap bersiaga, dan gerbang ditutup.
Di dalam istana; rumor dari revolusi telah meluas keseluruh pegunungan dan orang-orang yang mendukung Storm Queen telah pergi. Celeste, Vox, rakyat Gythia dan kumpulan bajak laut berkumpul di Mirrored Court.
“Ini tidak lebih dari sebuah perburuan untuk persaudaraan ketika aku di sini masuh muda dulu,” bisik Elizar si penyihir perang, takjub dengan jendela yang dipahat berlapiskan emas, lantai marmer berwarna hitam dan putih, lampu gantung yang berkobar dengan ratusan lillin. Lukisan yang menggambarkan kejahatan Storm Queen di masa jayanya memenuhi langit-langit. Patung perunggu dari Stormguard tanpa wajah berdiri dengan senjata mereka. Tembok dengan cermin-cermin dengan sudut-sudut yang aneh memberikan rasa yang tidak nyaman, membuat tempat tersebut terkenal.
“Ini membuatku takut,” kata Vox, menghindari bayangannya dan mundur.
“Memang dibuat seperti itu,” kata Celeste, tongkatnya membentur lantai saat dia berjalan.”Dia satu-satunya yang tidak melihat bayangannya sendiri di sini.”
“Para pejabat, kesatria, bangsawan menatap mata bersalah mereka sendiri sementara Storm Queen duduk, dengan penuh kebutaan, terhadap tahta,” Elizar berujar.
Celeste berhenti sebelum sampai di singgasana, dipahat dari batu hitam, merasa dia terlalu muda. Sangat kejam di ruangan yang penuh hiasan; satu-satunya hiasan di singgasana hanya tempat bertengger gagak Storm Queen. “Aku tidak mau duduk di sana,” dia bilang.
“Semua akan disesuaikan dengan permintaan Anda,” kata Elizar, “tapi Anda juga harus duduk di sana.”
Berbanding terbalik dengan si kembar dan rakyat Gythia, para pengikut Vox justru terhibur dengan cermin-cermin itu. Loo, si peri, mengagumi dirinya sendiri dari berbagai sudut, menyisir rambutnya dengan jarinya. Para bajak laut melepas mata mereka dan tertawa. Di belakang singgasana, goblin bertengkar dengan bayangannya sendiri, berpikir bahwa dia musuh,dan mencolok matanya, mengaktifkan tombol tersembunyi di tembok yang membuka sebuah lemari.
“Hey, kak,” dia memanggil Celeste, “coba lihat ini.”
Celeste datang dan matanya sedikit terbelalak, di dalamnya terdapat sebuah pakaian penyihir ratu: dengan lengan panjang dan bintang di dada, sebuah mahkota, dan tongkat dengan bulan sabit dan bertuliskan : “Preserver la Paix.” Celeste merasa sakit karena sihir dari tongkat itu.
“Ini tidak seperti gaya Storm Queen,” gumam Elizar.
“Tidak,” kata Celeste, jari-jarinya mengusap ujung tajam dari tongkat. “Ini dibuat untukku.”
Vox melihat lengan pakaian itu. “Dia sudah tau kau akan datang?”
“Dia tidak mungkin tahu. Kita selalu waspada,” kata Elizar.
“Dia tahu aku akan menggantikannya,” kata Celeste.
“Di bawah pengawalannya,” kata Elizar dengan nada datar.
“Justru aku di bawah pengawalanmu,” jawab Celeste. Dia mengambil tongkat itu dan bulan sabit itu bersinar, menyinari penyihir perang tua itu. “Mari kita lanjutkan. Tapi aku pikir …”
Mata Celeste melihat lukisan di langit-langit. “… Aku pikir aku ingin dipasang sebuah atap kaca.”
Stay With Me
‘Stormlord’ Ardan Tier 3
Pada malam revolusi, Sang Kunci berdiri di depan balkon Storm Queen mengawasi iring-riingan pesta kerajaan menaiki gunung. Dia harus menjaga ruangan ratu dari penjarah, tapi dia tidak akan mampu menghentikan pesta dari para pemberontak yang berisikan prajurit dan penyihir.
Ketika massa mencapai gerbang istana, Sang Kunci kembali ke ruangan ratu. Tidak seperti ruagan istana lain, sangat luas, putih dan dingin, seperti ruangan di rumah sakit. Di peti jenazah kriogenik, istrinya mengenakan putih juga, gaun yang di bordir dan dengan manik-manik membuatnya terlihat seperti orang asing, boneka yang sempurna. Dia melepas helmnya dan alat pernapasannya, juga baterai di dadanya. Dia memukul gembok peti itu lagi dan lagi sampai hancur dan penutupnya terbuka dan udara begitu dingin keluar menerpa dirinya membuatnya terbatuk-batuk.
Julia lebih ringan dari yang dia ingat, lebih ringan dari daun yang telah gugur dan kering. Dia merebahkannya di lengannya dan wajahnya di lehernya.
Dia dalam kondisi sekarat dalam berjam-jam kemudian, napas lemahnya berembun. Dia pikir dia seharusnya berbicara lebih banyak. Mengingatkan dia bagaimana mereka bertemu, atau meminta maaf, tapi dia hanya membuat dirinya sendiri nyaman dan dia tidak pantas mendapat kenyamanan. Dia telah meninggalkan putrinya karena amarah balas dendam; dia mengingkari janjinya. Matanya tertutup.
“Dia adalah Stormlord, yang mulia.”
“Apa dia sudah mati?”
“Biarku dengar … dia bernapas.”
“Siapa wanita ini?”
“Dia seperti …”
“Ini dia, Vox. Ini ibu. Apakah dia …”
“Aku tidak mendengar detak jantungnya.”
“Diawetkan bertahun-tahun di ruangan kakaknya? Sangat mengerikan.”
“Celeste, lihat. Ini ayah. Ayah! ayah, bicaralah padaku.”
“Ayah!”
“Hey ayah! Bicaralah padaku! Bangunlah!”
Ardan berusaha membuka matanya. “Ju …” dia bergumam. “Jul …”
“Ini aku, yah, Celeste. Bertahanlah, kami akan membantumu.” Dia merangkulnya, mencium pipinya yang berwarna abu-abu. “Anugerah ibu yang membuatnya tetap hidup. Cepat, ambil alat pernapasan itu. Topeng itu, di sana, pakaikan di mulutnya.”
“Dia tidak akan bertahan, yang mulia. Baterai di baju pelindungnya telah mati.” Penyihir perang memegang baterai yang telah Ardan lepas, kabel-kabelnya telah menjuntai.
“Lihat, ayah.” Dia mengangkat tanganya dan tersenyum, sebuah bola ungu muncul di telapak tangannya, kecil seperti kelereng dan bersinar. “Kau sudah menyelamatkanku. Sekarang aku yang akan menyelamatkanmu. Perhatikan ini.” Dia menempatkan itu di lubang dimana biasanya baterai terpasang. Darah mengalir deras di jantungnya; pikirannya kembali jernih karena udara mengalir di paru-parunya. “Ibu sudah mati, ayah, tapi kami di sini, dan kami masih membutuhkanmu. Kita bersama lagi, ayah. Tetaplah bersamaku. Tetaplah …”
Conspiracy of Ravens
‘Paragon’ Catherine Tier 3
Storm Queen dan sekutunya duduk di atas kuda-kuda mereka di luar benteng dari Mont Lille, dalam keadaan yang tidak menguntungkan karena tidak bisa masuk kedalam ibu kotanya sendiri.
Para pemberontak telah menyerbu dengan pesawat terbang saat Storm Queen berpergian seminggu. Sekarang para pemanah, telah berbaris, mengenakan seragam yang tidak kompak dan compang-camping. Meskipun memiliki keuntungan, para pemanah gemetaran melihat Storm Queen dan Perisai Queen di sampingnya, seorang wanita yang namanya telah terlupakan selama masa-masa damai. Tidak ada yang ingat dengan wajahnya. Dia telah menua, atau tidak, di balik topeng perangnya. Kisah dari Perisai Queen telah menjadi legenda yang luar biasa. Ular-ular pada topengnya, dikatakan, akan hidup dan menyergap musuh dengan taring berbisa; ketika lagu dinyanyikan musuh-musuh akan berubah menjadi batu ketika melihat topeng itu.
Para pemberontak diwakili tiga pengendara kuda dengan bendera untuk melakukan perundingan. Storm Queen maju hanya dengan Perisainya. Tiga pengendara kuda dari pemberontak itu adalah penyihir perang Gythian, jenderal dari Lionne dan perempuan muda berambut emas dengan sebuah tongkat.
“Hari ini, kau menjawab untuk kejahatan perangmu,” kata penyihir perang. “Ratu yang sebenarnya telah mengambil alih Mont Lille.”
Seekor gagak berpindah pada bahu Storm Queen dan menggerakkan kepalanya. “Ah, dia seperti ibunya pada umurnya. Hanya dengan melihat sekilas. Bertahun-tahun orang-orang Gythia memata-matai dan hasilnya … ini? penyihir perempuan tanpa ibu dan kumpulan pemberontak?”
“Penyihir perempuan yang telah mengambil alih Mont Lille,” Storm Queen berkata. Kuda-kuda mendengus dan ketakutan, angin meniup kerudung hitam Storm Queen.
“Kau mungkin bisa mewarisi tahtaku, karena sesuai hukum itu sah, ketika aku sudah mati. Tapi sangat menyedihkan karena kau tidak akan bisa membunuhku!” tangis Storm Queen, dan suara ratusan halilintar menyambar, gagak-gagak terjun seperti tombak yang hidup.
Perisai Queen memegang pinggang penyihir muda, mengangkatnya dari kuda dan mengeluarkan gelembung Stormguard melindungi mereka berdua. Sambaran listrik menusuk gelembung dan dipantulkan, menyambar balik Storm Queen yang telah mengeluarkannya. Panah-panah juga menghujani dalam kekacauan, namun hanya memantul kembali pada pemanahnya. Gagak-gagak menyerang permukaan gelembung merah tua itu, bulu-bulu meledak kesegala arah.
Storm Queen jatuh dari kudanya dan tergeletak di tanah, gemetaran karena sengatan listrik. Dia bahkan tidak mampu menjerit kesakitannya.
Perisai Queen melepas penyihir pemberontak dan menurunkannya dari kuda, berdiri di depan Storm Queen yang merintih. Penyihir muda itu menyipitkan matanya dan menatap topeng Perisai. “Aku tidak salah mempercayaimu, Catherine. Kejahatanmu … dimaafkan.”
“Aku masih memiliki satu hal untuk dilakukan,” suara dibalik topeng.
“Tapi kau adalah Perisaiku,” rintih wanita yang tersetrum.
“Bukan,” kata Catherine. “Aku adalah Perisai dari Queen.” Pedang mencuat dari perisainya, membelah tulang, mengoyak jantung Storm Queen.
“Hidup sang ratu,” dia berbisik, dan jika dia menagis, tak ada yang tahu.
Lionne’s Revenge
‘Cloud Rider’ Vox Tier 2
Armada Vox dipanggil untuk perang segera setelah penobatan Celeste.
Dengan suara raungan mesin dan baling-baling dan bentangan layar, armada pesawat Star Queen naik seperti bulan yang gelap diatas gerbang Mont Lille. Kapten Vox berdiri digeladak dari The Audacity, dia menyeringai dengan kumisnya yang elegan. Loo si peri berdiri diatas kepalanya pada sebuah pose pertempuran yang mengagumkan, memegang rambut ikal Vox dengan satu tangannya yang kecil, dan sebuah pedang kecil ditangan satunya. Malam Revolusi Tanpa Darah telah membuat bosan para bajak laut yang suka dengan peperangan, tapi Pembalasan Lionne melawan ibukota membuat mereka bersemangat. Orang-orang yang sama yang berbaris melawan Storm Queen, setelah diberikan kemerdekaannya, berbaris melawan penerusnya, menuntut hukuman untuk kota mereka yang runtuh dalam kehancuran dan darah.
Didalam kegelapan, percikan api muncul dari meriam panjang yang menembakkan peluru kearah parit musuh. Gerbang digempur dengan benturan dari besi pendobrak besar yang didorong oleh tentara-tentara berotot. Dibelakang parit, para tentara dan penduduk menunggu dengan obor, mencaci maki ratu yang baru, menuntut balas karena kehancuran dari Lionne beberapa tahun sebelumnya.
“Ini baru namanya pesta!” ujar Vox. Loo meneriakkan kata-kata kotor dan para goblin bersorak bersamaan dengan meriam-meriam dari The Audacity yang menembakkan denyutan sonic yang menghempaskan penembak meriam Lionne kembali keparit-parit mereka dan menghancurkan besi pendobrak menjadi serpihan. Denyutan itu meleburkan peluru meriam diudara menjadi serpihan yang menghujani penembaknya. Udara malam penuh dengan mesiu dan suara-suara yang tidak serasi. Sebuah gelombang ultrasonic meletup dari telapak tangan Vox, meretakkan meriam-meriam musuh bersamaan dengan tembakan yang mengenai ruang mesin dari The Audacity.
Kandas, Stormlord menyaksikan The Audacity meledak.
Sial, Vox!
Menghindari pecahan tajam dari pesawat yang jatuh, dia berlari menuju tempat dimana sisa pesawat putranya jatuh, berbaring disebuah awan yang terbuat dari serbuk peri.
I Made These For You
‘Cloud Rider’ Vox Tier 3
… ibumu dan aku ketika masih muda. Aku seharusnya tidak melakukannya. Aku hidup dengan penuh penyesalan, rasa bersalahku tidak bisa membawanya kembali. Aku tidak tahu jika kau bisa mendengar ini; barangkali lebih baik jika kau tidak bisa mendengarnya. Semua yang bisa kulakukan sekarang adalah melindungi Celeste, seperti dia yang bisa …
Vox terbangun didalam ruangan putih dengan dua kursi. Ayahnya duduk didepannya, siku pada lutunya, tangan dirangkulkan. Ardan sama sekali tidak terlihat seperti Stormlord lagi. Dia terlihat seperti dulu sebelum Masker Rage, sebelum Gythians dan Halcyon Fold, sebelum Loo si peri dan para bajak laut goblin, sebelum The Audacity, sebelum Revolusi Tanpa Darah, sebelum … sebelum …
“Kau sedang bermimpi,” kata Ardan, suaranya lembut. “Kau terluka dalam kecelakaan. Kau telah tidak sadar beberapa bulan. Akan membuat pikiranmu syok kalau kau bangun secara langsung. Aku menyimulasikan mimpi ini untuk membimbingmu.” Ruangan disekitar mereka berubah total, atap, dinding, lalu lantai dan perabotan semua berubah menjadi seperti kamar lama Vox di Taizen Gate.
Vox menepuk dadanya, menggaruk kepalanya, melihat dirinya sendiri. “Terluka bagaimana? Dimana?”
“Dalam mimpi ini, kau seperti dirimu yang sebelumnya.”
“Jadi aku bisa menjadi apapun dalam mimpi ini?”
“Simulasi bisa diubah sesuai …”
“Bisakah aku menjadi sebuah naga?”
“Fokus, Vox.” Sebuah senyuman muncul dibibir Ardan ketika putranya turun pada kursinya. “The Audacity ditembak jatuh. Kau kehilangan satu kaki dan kedua lenganmu, tapi kami memiliki teknologi untuk membuatnya kembali.”
Simulasi berubah lagi, tapi kali ini Vox yang berubah, dari kepala sampai kaki, kedua lengannya dan satu kakinya meliuk, dicetak, bersendikan besi.
“Whoa,” bisik Vox. Dia melompat dan berdiri, menutup dan membuka kepalan tangannya, menekuk lutut mekanisnya.
“Para doktor berkata bahwa kau akan membutuhkan beberapa waktu untuk meratapi kehilangan dari …”
“Aku terlihat … sangat keren!” Vox berputar untuk melihat dirinya pada sebuah cermin. “Aku bertaruh kalau aku sangat cepat sekarang!”
“Dengarkan aku, Vox. Sihir suaramu. Kau dulu menggunakan kedua tanganmu.”
Vox melihat pada telapak tangannya, kenyataan membuat dia pucat. “Apa aku … kehilangan itu?”
“Sihir tidak bisa mengalir pada lengan mekanis. Aku membuatkan ini untukmu.”
Peralatan teknologi dipunggung Vox, kepala dan pinggang: lingkaran cahaya yang terus berdenyut.
“Wow!” Vox mengambil sebuah piringan suara dari pinggangnya dan memutarnya dengan jari mekanisnya. “Bisakah aku mencobanya?”
“Apa kau yakin kau tidak ingin melanjutkan perasaanmu tentang …” Tapi ucapan Ardan disela ketika, dengan pergelangan yang cepat, Vox mengirim piringan itu terbang kedinding. Ruangan simulasi meledak menjadi piksel-piksel yang jatuh berantakan.
“Ya ampun, ayah, ini adalah hal yang paling luar biasa yang pernah terjadi padaku.” Vox melompat pada Ardan, memeluknya erat-erat. “Terima kasih.”
Ardan meneguk dan menepuk punggung Vox. “Aku rasa … ah, kami bisa membangunkanmu. Segera.” Sebelum dia kembali kedunia nyata, dimana dia hidup dengan baju pelindung berkekuatan dari bantuan bintang kakaknya, dimana kakaknya memerintah sebuah wilayah yang geger, dimana Vox akan pergi kepetualangan lain bersama dengan peri dan kru goblinnya, Ardan mengambil beberapa waktu untuk memeluk putranya.
The Rise of the Star Queen
‘Star Queen’ Celester Tier 3
Diluar istana dan seluruh wilayah, kerajaan-kerajaan merdeka yang dulu dikuasai oleh Storm Queen mengamuk dengan peperangan. Para bangsawan melawan satu sama lain; rakyat biasa menyerang para bangsawan tersebut karena pertempuran mereka menghancurkan ladang pertanian mereka. Kapten dari Audacity sedang dalam masa penyembuhan dan Star Queen tetap berada diistana demi keselamatannya.
Suatu malam, ketika dia mempelajari peta perang untuk yang kesekian kalinya, dia mendengar bisikan yang memanggil namanya. Dia mengikuti suara itu melewati lorong yang berliku-liku menuju sebuah pintu dengan dekorasi yang terkunci.
Cobalah kunci milikmu, dia mendengar dari sisi lain dari pintu itu, dan dia segera memasukkan kunci kepintu kamar milik sang ratu, dan pintu terbuka lebar.
Ada sangkar burung yang cukup sempit, ruangan itu memiliki atap yang tinggi. Dia bisa melihat langit dari dalam ruangan itu, dan tempat bertengger burung yang tertutupi oleh sarang burung gagak menonjol dari dinding. Dia berjalan keluar menuju sebuah taman, tanpa alas kaki dia berjalan diantara rerumputan dan bunga-bunga, dia melihat banyak burung gagak yang terbang berputar-putar dan hinggap pada batu dari pancuran dan bangku dan pada pundaknya juga, dan ketika dia mengangkat jarinya salah satu dari mereka hinggap pada jarinya. Dia seharusnya takut tapi dia tersenyum, bahagia dengan berat dan ukuran mereka.
Sang ratu sudah mati, datang sebuah bisikan dari salah satu pundaknya.
Hidup penerus sang ratu, bisik satu yang berada ditangannya.
“Kenapa aku bisa mendengar kalian?” dia bertanya, menatap pada ratusan burung hitam yang berkumpul untuk menyambutnya.
Sang ratu bisa mendengar kami, kata yang dibelakangnya.
Kau adalah sang ratu, yang lain mengingatkannya.
“Dan siapa kalian?” dia bertanya.
Aku adalah Vyn, ucap yang satu.
Aku adalah Vyn, jawab yang lainnya.
Kami adalah Vyn, mereka berkata dengan serentak.
“Baiklah, Vyn” ujarnya, mengusapkan jempolnya diatas kepala gagak yang berada dijarinya, menutup matanya. “Kalian sekarang sudah bebas.”
Kami adalah milik sang ratu, satu berbisik.
Kau adalah sang ratu, yang lain mengulangi.
Jika kau mau, kau bisa memiliki mata kami, sebuah bisikan dari tangannya. Aku akan memperlihatkannya padamu. Dan penglihatan Celeste memudar, lalu menjadi gelap, dan dia merasa seperti terbang tinggi diatas menara emas Gythia. Dia melihat kilatannya, lalu permukaan dari bangunan kuno. Dia berputar, sayapnya membentang; tanpa bobot diatas hembusan angin; terbang seperti mimpi, dia belum pernah melihat dunia dengan warna yang begitu jelas dan cerah sebelumnya. Dia terbang kedalam jendela yang tinggi, bertengger pada tepian dekat lukisan langit-langit. Dia mematukkan paruhnya pada bagian bawah sayapnya yang gatal sampai dia mendengar sebuah suara dibawahnya. Sekumpulan orang dengan jubah yang mewah berkumpul melihat sebuah peta dan berdebat.
“Ah, dia adalah penasihatku,” dia berujar. “Elizar!” Tapi suaranya yang keluar hanya suara parau dari gagak yang tidak bisa didengar orang dibawahnya.
“… pengganti telah ditemukan di Taizen Gate, dan kami mengirimmu, Elizar,” kata seorang wanita.
“Aku terlalu tua untuk hal seperti ini, dan begitu juga dengan Gythia,” ujar Elizar. “Biar saja Storm Queen, atau apa saja yang Louisa memanggil dirinya sekarang, buatlah pernjanjian dengan wilayahnya karena sepertinya dia cocok.”
“Mata para gagaknya mengawasi kita dan pasukannya belum pernah sekuat sekarang. Tidak ada yang lebih baik darimu untuk mengajak rakyat meningkatkan kekuatan Gythia. Nasihatilah dia untuk memberikan kemerdekaan bagi kerajaan-kerajaan terdekatnya. Mereka akan memicu perang dan akan runtuh, dan kita akan memiliki kekuasaan pada wilayah ini.”
Celeste membangunkan dirinya sendiri dari mimpi gagak itu. Bibirnya merapat dan gagak-gagak mencicit. “Apakah penglihatan ini kenyataan?” dia bertanya.
Ini adalah ingatan, satu berujar.
Sebuah cerita kami bisa menceritakan apa yang kami lihat, ujar yang lain.
“Aku mempercayainya,” dia berkata, rahangnya mengencang. “Dia berbohong.”
Semua orang berbohong.
Tapi kau bisa tahu ketika mereka berbohong.
Kau bisa melihat warna kami.
Tidak ada tempat yang tidak bisa kau lihat.
Bayarlah harganya, bisik yang satu.
Biarkan kami mengambilnya, dan kami akan menjadi matamu.
Berikan kami matamu.
“Jadi sang ratu sebelum aku tidak buta sama sekali.” Celeste mengelus kepala dari gagak. Dia melihat keatas kebintang-bintang, hal terakhir yang dia lihat dengan mata miliknya sendiri. “Aku harus tahu kebenarannya jika aku memerintah,” dia berkata. “Ambillah mataku.”
Para gagak turun, memekik.
Tamat