Skaarf Lore, Chapter 1 : Return of Skaarfungandr

Janganlah ada lagi kepedulian terhadap arsitektur(struktur bangunan), karena Penghancur Dunia akan memusnahkan semua sampai runtuh. Abaikan ladangmu, karena api(berwarna) merah darah akan membuatnya menjadi abu. Jangan pedulikan masa depanmu, karena Skaarfungandr, si Raja Langit akan meniadakan seluruh negeri. Hati-hatilah terhadap keanghuhan bodohmu, karena malaikat pencabut nyawa telak terbangun. Dialah Yang Terakhir; Sang Pembawa Kegelapan Malam Yang Abadi. Dialah Skaarfungandr Yang Maha Kuasa, Dia Yang Ditakuti, Dia Yang Tak Terkalahkan dan Si Pemakan Segala. Biarlah kita berduka di saat-saat berharga terakhir yang manusia miliki.

Skaarf Lore, Chapter 2 : Walker’s Archive (Survivor of Skaarfungandr)

Vol 1. Page 1

Gulungan kertas kuno ini ditemukan di antara tulang-belulang wanita Suku Deinlandic

Skaarfungandr adalah satu dari belasan nama untuk sebuah naga yang terdapat di cerita rakyat di berbagai kebudayaan. Melalui fossil, disimpulkan bahwa naga telah punah beribu-ribu tahun yang lalu, berdasarkan beberapa mitologi, diketahui bahwa ada satu naga yang muncul setiap seribu tahun sekali. Secara ilmiah, orang masa kini menganggap bahwa Skaarfungandr adalah mitos belaka, tetapi saya telah mempelajari banyak kebudayaan yang menyatakan bahwa naga legendaris ini dipercaya benar adanya – kenyataan yang cukup pahit dari sejarah sosial. Skaarfungandr muncul dalam bentuk sama di banyak karya seni, gambar di gua, mosaik, gelas berwarna, cerita lokal, baik dari mulut ke mulut ataupun dalam bentuk tertulis di dalam kebudayaan-kebudayaan(bahkan kebudayaan yang tidak saling berkaitan satu dengan yang lain). Beberapa tahun terakhir, saya telah berusaha mengumpulkan apapun yang saya bisa demi mendapatkan bukti-bukti.

Patut dicatat bahwa, kejadian berikut ini terjadi di ribuan tahun yang lalu.

~disadur dari jurnal pribadi Michael Wakler

Tulisan berikut ini ditemukan dan diterjemahkan oleh Walker dari sebuah budaya yang belum teridentifiaksi. jurnal ini ditemukan di antara barang-barang Walker, setelah Walker dilaporkan menghilang.

Harusnya saya mati di sungai saja, dengan sebuah gagang pancing di pangkuan saya. Malah, saya berlari dan berharap dapaat menunda kematian saya dalam beberapa menit. Sekarang, saya bergantungan di tembok sebuah gua, sebuah mata sangat besar melotot ke arah saya, nafas yang terasa panas memenuhi relung paru-paru.

Dia membuka rahangnya dan saya terpeleset, bara api menyala dari tenggorokannya. Itulah satu-satunya cahaya; badan besarnya menutupi mulut gua, menghalangi sinar mentari terbit.

Di ujung desa, Oppa berjalan menuju sawah, Omma menyalakan api dan merawat unggas. Mereka berharap saya akan kembali dari sungai membawa ikan-ikan. tetapi mereka tidak akan berjumpa dengan saya lagi. Dengan bermodalkan keberuntungan, saya akan mencoba memuaskan lapar sang monster, agar desa dan sawah kita dapat terselamatkan. Harapan terakhir dari saya.

Saling bertatapan muka, saya tidak takut. Saya adalah mangsanya, hal lumrah seperti hukum alam.

Di saat-saat terakhir saya, saya menggapai sang kematian. Saya menggerakkan telapak tangan saya, menyentuh kulit kepalanya yang kasar, merabai mukanya. Lidah keringnya menjulur dari gigi-gigi, dengan panjang kira-kira seukuran tubuh. Saya menyentuh sisik, Tidak ditemukan titik lemah, tidak ada tempat di mana besi dapat menusuk. Kapan saja, dia akan berbalik dan membuat saya menjadi abu, atau menelan saya di perutnya.

Tetapi naga tidak dikenal karena rasa kasihnya.

Dengan sebuah gerakan cekatan dia berbalik dari arah gua. Saya mengikutinya, rasa takut menghantam saya seperti hantaman batu di dada, dan melihatnya naik ke atas langit, terbang dengan cepat dari bebukitan, dan membakar rumah saya.

Tanah mengering dan pecah persis di mana tempat sawah berada. tembok desa, monumen, perpustakaan – segala kekuatan dan pengetahuan dari suku saya menjadi hitam, menjadi abu. Tidak ada lagi sisa-sisa dari keluargaku. Pergilah teman-teman dan musuh-musuh yang selama ini berada dalam kehidupan saya. Bahkan tulang-belulang mereka untuk dikuburkan pun tiada. Sayalah satu-satunya orang, saksi hidup dari suku saya. Dari perbukitan yang damai, saya melihat turun ke amukan dari Skaarfungandr, Akhir Dari Segalanya.

Vol 1. Page 2

Artefak dan cerita diambil dari koleksi pribadi Martem Walker. Kota dan kebudayaan asal tidak diketahui.

Tidak ada seorangpun yang percaya akan Skaarfungandr. Cuma cerita yang sering dilontarkan di acara api unggun untuk anak kecil, pikirku. Anakku sendiri masih kecil saat itu ; sekarang mereka telah memiliki anak sendiri, dan mereka menyuruh anak mereka supaya tidak mendengarkan cerita-cerita menyeramkan milik nenek ini. Tetapi, kami sebenarnya tidak berasal dari kota ini. Kami pernah tinggal di desa kami sendiri, mempunyai tanah pertanian kami sendiri, dan memiliki kehidupan yang makmur di sana. Dan pada satu hari, kami memasuki masa-masa kelam.

Bukanlah fajar di hari itu. Matahari sedang berada di titik tertingginya. Abu menyirami kami, melapisi jalan-jalan, rumah kami, memadamkan api yang dipakai untuk memasak. Lalu berubah menjadi bara api yang membakar kulit, menyengat mata, dan menyesakkan kerongkongan. Bahkan dengan ditutupnya jendela dan selimut dipakai untuk mengganjal pintu, abu tetap dapat masuk dan menutupi meja, makanan, dan tempat tidur. Mencemari air. Hewan- hewan di luar tersedak, bayi-bayi menangis; air mata mereka berwarna keabuan.

Angin membuat abu menjadi api, membakar desa. Suamiku pergi menolong, tetapi tidak pernah kembali. Saat sore kereta kuda tidak dapat melalui jalan-jalan dan keadaan menjadi semakin panas. Lonceng tanda bahaya berdentang, memanggil kita semua. Api telah datang, saya melarikan diri, bergabung dengan penduduk lainnya. Angin dan abu berhembusan dari belakang, bayi telah terbungkus di balik kain, saya berjalan dengan abu tingginya sedengkul, dengan panas yang seakan-akan mengelupas kulit saya.

Sayalah orang terakhir yang keluar dari gerbang, sehingga saya dapat melihatnya datang. Langit hitam terbelah, sinar mentari menyorot turun, dan Skaarfungandr menerobos abu. Sayapnya mengipasi kabut abu. Ia lebih besar dari yang diceritakan. Ia mengaum, aumannya menandakan bahwa ia telah meluluh-lantakkan seluruh kota. Kami berlari dengan api di belakang kami, orang-orang bergeletakan di jalan.

Ketika abu telah mereda, kami kembali, tetapi tidak ada yang tersisa. Tidak sebatang pagar rumah pun. Sumur mengering. Tak akan ada lagi yang tanaman yang bisa tumbuh dari bumi sekarang. Tempat itu telah terlupakan: tiada bernama, tiada sejarah tersisa. Mudah melupakan sebuah tempat ketika sudah binasa. Mudah menyalahkan kebakaran telah terjadi. Mudah menertawakan cerita-cerita dari tetua. Sudahlah, tidak seorangpun mempercayai saya.

Vol 1. Page 3

Terjemahan terakhir dari koleksi arsip pribadi Martim Walker. Mengisahkan tentang penampakan kelima dari Skaarfungandr.

Pada penampakan kelima Skaarfungandr, terjadi ketika saya masih sangat awam saat menyaksikan seorang anak si pemotong daging direbus hidup-hidup di kolam, di dalam perjalanan pulang ke rumah. Anak pemotong daging tidak sedikitpun memperlihatkan rasa takutnya, bahkan ketika sang naga menampakkan dirinya: daun membara, sebagian hutan lenyap terbakar; suasana hening, burung-burung pergi dari sarang mereka yang terbakar; jalur-jalur yang biasa dilalui gajah ditumbuhi lumut dan semak. Di akhir jalur, di balik rimbunan daun, kami menjumpai si naga legendaris di dekat kolam besar. Ditombaknya ikan dengan cakarnya. Lalu dihancurkannya dengan rahangnya.

“Ini ceroboh.” Bisikku kepada anak pemotong daging. “Bertindaklah secara bijak dan pergi dari sini.”

“Pisauku setajam ksatria.” Ia berujar. Lalu menghunus parang dari sabuk di pinggangnya. Berbagai macam senjata lengkap terpasang di sana. “Saya menguasai anatomi hewan, saya mengetahui di mana tepatnya harus menyarangkan pukulan telak. Ketika saya pulang dengan kepala naga, petinggi akan memberi saya gelar ksatria.” Matanya tidak sedikitpun berpaling dari sang naga, ketika dia meninggalkanku di belakang. Dia memanjat pohon kelapa tinggi berbatang kehitaman tepat di belakang naga, dengan parang di antara rahangnya.

Ditandai dengan sebuah teriakan, sang anak terjun dari pohon, langsung ke punggung naga. Sang naga terdiam sesaat dengan buntut ikan di antara giginya, air memantulkan sisik sang naga yang gemerlap dengan indah, tepat saat itu sang anak menghujamkan parang tepat di kepala si naga, tetapi parang tersebut tidak dapat menembus sisiknya, dan meleset ke samping. Parang jatuh terpental ke kolam, si anak seraya menghunus senjata lain dari pinggangnya – sebuah pisau gerigi, sebuah palu untuk menghantam pisau agar dapat menembus tulang tebal – tapi tidak ada yang dapat menembus sisik tersebut. Sang naga berputar dan mengaum, walaupun si anak pemotong daging memegang punggung naga yang kasar, si naga dengan mudahnya melemparkan si anak ke kolam, lalu merebusnya hidup-hidup di sana.


Original Story by Super Evil Mega Corp & Original translated by Ruby Lie (Group Facebook Vainglory Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *